Email ini dipetik daripada seorang sahabat, dan saya forwardkan untuk manfaat kepada diri saya dan semua.
Assalamualaikum...
Semoga bermanfaat. Baik untuk yang melamar ataupun yang dilamar, ataupun bagi yang sudah berumah tangga...
Renungan buat yang sedang mencari pasangan hidup ataupun yang sedang mengemudi bahtera mah tangga. Mengapa?
Kerana Dia Manusia Biasa...
Kerana Dia Manusia Biasa...
Setiap kali ada sahabat yang ingin menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama:
“Kenapa kamu memilih dia sebagai suami / isterimu?”
Jawapannya ada bermacam-macam. Bermula dengan jawapan kerana Allah hinggalah jawapan duniawi. Tapi ada satu jawapan yang sangat menyentuh hati saya. Hingga saat ini. Saya masih ingat setiap details percakapannya. Jawapan dari salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib.
Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Kemudian membuat keputusan menikah. Persiapan pernikahan mereka hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak hairan. Proses pernikahan seperti ini selalu dilakukan. Dia bukanlah akhwat, sebagaimana saya. Satu hal yang pasti, dia jenis wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami.
Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sukar untuk membuka hati. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menganggapnya serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.
Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tarikh pernikahannya. Serta meminta saya untuk memohon cuti, agar dapat menemaninya semasa majlis pernikahan. Begitu banyak pertanyaan di kepala saya. Sebenarnya...
Saya ingin tahu, kenapa dia begitu mudah menerima lelaki itu? Ada apakah gerangannya? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia boleh memutuskan untuk bernikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk ketika itu (benar-benar sibuk).
Saya tidak dapat membantunya mempersiapkan keperluan pernikahan. Beberapa kali dia menelefon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa perkara. Beberapa kali saya telefon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That's all. Kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Saya menggambil cuti 2 hari sebelum pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap di rumahnya.
Pukul 11 malam sehari sebelum pernikahannya, baru kami dapat berbual hanya berdua. Hiruk-pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kami. Pada awalnya kami ingin berbual tentang banyak hal. Akhirnya, dapat juga kami berbual berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak perkara kepada saya.
Beberapa kali mamanya mengetuk pintu, meminta kami tidur.
"Aku tak boleh tidur."
Dia memandang saya dengan wajah bersahaja. Saya faham keadaanya ketika ini.
"Matikan saja lampunya, biar disangka kita dah tidur."
"Ya... ya..."
Dia mematikan lampu neon bilik dan menggantinya dengan lampu yang samar. Kami meneruskan perbualan secara berbisik-bisik. Suatu hal yang sudah lama sekali tidak kami lakukan. Kami berbual banyak perkara, tentang masa lalu dan impian-impian kami.
Wajah keriangannya nampak jelas dalam kesamaran. Memunculkan aura cinta yang menerangi bilik ketika itu. Hingga akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang selama ini saya pendamkan.
"Kenapa kamu memilih dia?"
Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari baringnya sambil meraih handphone di bawah bantalku. Perlahan dia membuka laci meja hiasnya. Dengan bantuan lampu LCD handphone dia mengais lembaran kertas di dalamnya. Perlahan dia menutup laci kembali lalu menyerahkan sekeping envelope kepada saya. Saya menerima handphone dari tangannya. Envelope putih panjang dengan cop surat syarikat tempat calon suaminya bekerja.
“Apa ni?”
Saya melihatnya tanpa memahami. Eh, dia malah ketawa geli hati!
"Buka saja."
Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas bersaiz A4, saya melihat warnanya putih. He he he...
"Teruknya dia ni."
Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia cuma ketawa melihat ekspresi muka saya. Saya mula membacanya. Saya membaca satu kalimat di atas, di barisan paling atas. Dan sampai saat inipun saya masih hafal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu:
Kepada yang terhormat,
Calon isteri saya, calon ibu anak-anak saya, calon menantu ibu saya dan calon kakak buat adik-adik saya. Assalamualaikum Wbt...
Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir. Baru kemudian silakan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.
Saya, yang bernama Aidil (bukan nama sebenar) menginginkan anda Nurina (bukan nama sebenar) untuk menjadi isteri saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa.
Buat masa ini saya mempunyai pekerjaan. Tetapi saya tidak tahu apakah kemudiannya saya akan tetap bekerja. Tapi yang pasti saya akan berusaha mendapatkan rezeki untuk mencukupi keperluan isteri dan anak-anak saya kelak.
Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya. Saya hanya manusia biasa.
Cinta saya juga biasa saja.
Oleh kerana itu. Saya menginginkan anda supaya membantu saya memupuk dan merawat cinta ini, agar menjadi luar biasa.
Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati? Kerana saya tidak tahu suratan jodoh saya. Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.
Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah solat Istiqharah berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih anda.
Yang saya tahu, Saya memilih anda kerana Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari sekarang ini.
Saya memohon anda solat Istiqharah dulu sebelum memberi jawapan pada saya. Saya beri masa minima 1 minggu, maksima 1 bulan. Semoga Allah redha dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin.
Wassalamualaikum Wbt.
***
Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat 'lamaran' yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistik. Tanpa janji-janji yang melambung dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta biasa.
Saya menatap sahabat di samping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.
"Kenapa kamu memilih dia...?"
"Kerana dia manusia biasa." Dia menjawab mantap.
"Dia sedar bahawa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kami di kemudian hari. Entah kenapa, justeru itu memberikan kesenangan tersendiri buat aku.."
"Maksudnya?"
"Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. BetuI tak? Paling tidak... aku tau bahawa dia tidak akan frust kalau suatu masa nanti kami jadi miskin.
"Psstttt..." Saya menutup mulutnya. Khuatir kalau ada yang tahu kami belum tidur. Terdiam kami memasang telinga.
Sunyi. Suara cengkerik terdengar nyaring di luar tembok. Kami saling berpandangan lalu gelak sambil menutup mulut masing-masing.
"Sudah tidur. Besok kamu mengantuk, aku pula yang dimarahi mama."
Kami kembali berbaring. Tapi mata ini tidak boleh pejam. Percakapan kami tadi masih terngiang terus di telinga saya.
"Nurlisa...?"
"Tidur! Dah malam."
Saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur, agar dia kelihatan cantik esok pagi. Rasa mengantuk saya telah hilang, rasanya tidak akan tidur semalaman. Satu lagi pelajaran dari pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sedar dengan kemanusiaannya. Sedar bahawa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya.
Begitu juga dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah terpahat sejak roh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak.
Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban tetapi sebuah 'proses usaha'. Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, takhta dan 'nama'. Status diri yang selama ini melekat dan dibanggakan (aku anak orang ini/itu), ditanggalkan.
Ketika segala yang 'melekat' pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi kerana Allah semata. Diniatkan untuk ibadah. Menyerahkan segalanya pada Allah yang membuat senarionya.
Maka semua menjadi indah.
Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap Hamba-NYA. Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan. Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan. Kita hanya boleh memohon keredhaan Allah. Meminta-NYA mengurniakan barakah dalam sebuah pernikahan. Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah.
“Jadi, bagaimana dengan cinta?”
Ibu saya pernah berkata, cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya.
Agar cinta itu dapat bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci. Cinta tumbuh kerana suami/isteri (belahan jiwa). Cinta paling halal dan suci, cinta dua manusia biasa yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa. Amin.
Wallahualam.
********************************************
Sesungguhnya, aku sendiri terkedu bila membaca kisah ini...kata-kata dari surat tersebut amat tulus & penuh keikhlasan...amat menenangkan hati bila membacanya...persis setenang air di tasik...tanpa kocakan yang mengganggu...
pape pun...same-same la kita mohon pada Robbul 'Izzati moga kita tidak akan pernah lekang dari mengingati-Nya...Amin...
No comments:
Post a Comment